Gamal Abdel Nasser memimpin Angkatan Bersenjata Mesir dalam kudeta yang menggulingkan Raja Farouk I pada tahun 1952 namun pendahulu Anwar Sadat ini mengangkat Jendral Muhammad Naguib sebagai kepala negara Mesir yang ditengarai hanya sebagai bonekanya. Sebab, dua tahun berikutnya Nasser menangkap bonekanya itu dan mengangkat dirinya sebagai Presiden Mesir. Tahun 1956, Nasser menjadi calon tunggal Presiden dalam pemilu Mesir dan secara resmi diangkat sebagai Presiden Mesir ke 2. Pada masa pemerintahannya, Gamal Abdul Nasser membangkitkan Nasionalisme Arab dan Pan Arabisme, menasionalisasi terusan Suez yang mengakibatkan krisis Suez yang membuat Mesir berhadapan dengan Perancis, Inggris dan Israel yang memilii kepentingan terhadap terusan itu. Krisis ini berakhir dengan keputusan dunia Internasional yang menguntungkan Mesir serta terusan Suez resmi berada dalam kedaulatan Mesir. Kemudian mengadakan proyek infrastruktur besar-besaran diantaranya adalah proyek Bendungan Aswan dengan bantuan pemerintah Uni Soviet. Setelah kalah dalam Perang Enam Hari dengan Israel pada tahun 1967, Gamal Abdul Nasser ingin menarik diri dari dunia politik tetapi rakyat Mesir menolaknya. Gamal Abdul Nasser sekali lagi memimpin Mesir dalam Peperangan 1969-1970 (War of Atrition). Gamal Abdul Nasser meninggal akibat penyakit jantung dua minggu setelah peperangan usai pada 28 September 1970.

Gamal Abdul Nasir digantikan oleh Anwar Sadat sebagai presiden Mesir. Presiden ketiga Mesir ini tewas dibunuh pada tanggal 6 Oktober 1981. Sadat yang dikenal sebagai pemimpin negara Arab pertama yang mengakui kemerdekaan Israel, tewas ketika sedang menghadiri peringatan kedelapan perang Yom Kippur dengan Israel. Dua granat meledak ketika Sadat sedang menyaksikan parade Angkatan Udara Mesir beraksi. Para penyerang kemudian memberondongkan peluru ke segala arah, menewaskan beberapa diplomat asing, dan juga para hadirin lainnya yang mengalami luka serius. Organisasi Independen untuk Kemerdekaan Mesir mengaku bertanggung jawab atas pembunuhan Sadat, meskipun klaim itu tidak dapat diverifikasi.

Bahwa semua suksesi kepemimpinan Mesir bukan berakhir karena masa jabatan, Presiden pertama Mesir Jendral Naguib, sama seperti pendahulunya Raja Farauk I dipaksa turun dari tampuk kekuasaan, Nasser meninggal dunia dan penerusnya Anwar Sadat tewas terbunuh. Namun apakah ini merupakan ciri gaya kepemimpinan Islam ?. Namun jika melihat sejarah kekhalifahan Islam, suksesi khalifah penerus Nabi Muhammad yang diwarnai intrik dan kudeta yang menyebabkan Islam terbelah menjadi dua aliran besar Sunny dan Syiah, agaknya suksesi kepemimpinan Mesir mencirikan gaya kekhalifahan Islam itu. Namun kita juga tidak dapat langsung menggenalisir gaya tersebut mencirikan Islam, sebab pada dasarnya penyebaran faham agama akan dipengaruhi budaya lokal. Dengan kata lain, bahwa pergantian kekuasaan Islam sesungguhnya dipengaruhi prilaku dan budaya Arab yang masih feodal. Feodalisme yang masih mengental dimana pada masa lalu terjadi penggolongan atau strata yang mendorong perbudakan. Dalam ajaran Islam sesungguhnya merupakan upaya menghapuskan strata tersebut dengan faham manusia adalah sama dimata Tuhan. Namun budaya dan prilaku seperti ini tidak dapat dirubah secara radikal dan seiring dengan perkembangan zaman, wilayah arab tidak pernah lepas dari ketegangan.

Nasser`pemimpin Mesir yang dapat mempersatukan rakyatnya, berkuasa semasa perang dingin, Mesir berada dalam blok Timur seperti halnya Indonesia yang mendapat supply alat militer dari Uni soviet. Dendam abadi antara bangsa Yahudi dan Arab juga menjadi dendam bangsa Mesir kepada bangsa Yahudi yang tidak diinginkan kembali dikawasan timur tengah itu, Nasserpun secara politik melibatkan diri pada dendam itu. Mengikuti dendam rakyat Mesir itulah yang menjadikan Nasser sebagai pemimpin ideal. Adanya musuh bersama menjadikan rakyat Mesir bersatu dibelakang Nasser, walaupun kalah dalam perang Yom Kipur melawan Isreal, Nassir tetap dicintai Rakyatnya. Namun Anwar Sadat penggantinya berpikir lain, hidup berdampingan secara damai adalah modal kebangkitan bangsa, Mesir berdamai dengan Israel dalam perjanjian Camp David yang diprakarsai oleh Amerika Serikat. Perdamaian itu ternyata membawa nasib tragis, dia tewas diberondong senapan.

Jauh sebelum Islam berkembang, bangsa Mesir telah memiliki perdaban yang sangat maju dan kisah kemakmuran bangsa ini mengundang bangsa Ibrani untuk mengadu nasib dinegeri itu. Berhasil dalam kehidupan ekonomi bukan berarti bengsa itu diterima di Mesir dan kisah penyelamatan bangsa ini oleh Musa dari pembantaian Firaun menjadi mitos sepanjang masa. Namun, konflik dua bangsa ini yang tidak pernah usai beubah menjadi konflik agama dan mempengaruhi umat Islam di Indonesia. Gelombang penolakan Presiden Mesir Husni Mubarak mengalir hingga Jakarta. Di Bundaran Hotel Indonesia (HI), puluhan mahasiswa Islam menuntut Mubarak mengakhiri kekuasaanya. Para pendemo menilai, kepemimpinan Mubarak terlampau melindungi kepentingan Barat dan Israel yang yahudi.

Walaupun telah diklarifikasi oleh Ketua Umumnya, tak urung ucapan Sekjen PKS Anis Matta yang menyatakan Mahasiswa Indonesia di Mesir adalah kadernya yang ikut membantu upaya penggulingan Presiden Hosni Mubarak telah berdampak pada Mahasiswa itu. Sebagaimana yang ditayangkan oleh SCTV yang melakukan wawancara langsung dengan Mahasiswa Indonesia di Mesir, mereka telah dinilai sebagai teroris. 6 orang diantaranya ditahan oleh aparat keamanan Mesir. Buntut ucapan2 yang tidak dipikirkan akibatnya baik oleh tokoh partai dan tokoh agama tentu akan membahayakan keselamatan Mahaiswa disana yang tidak tahu menahu urusan politik. Terlebih demo2 menentang mubarak oleh Mahasiswa Islam di Jakarta akan sangat menyulitkan Mahasiswa Indonesia di Mesir. Adalah sebagai cermin, alangkah baiknya kita tidak mencampuri urusan negara lain, ada bangsa kita disana yang keselamatannya dipertaruhkan.