Beruntung Hidup Di Indonesia



oleh : Medy Parli Sargo
Eric Allen Johnston
, Presiden Motion Picture Association of America (MPAA) berkata kepada Presiden Soekarno ketika pemimpin karismatik ini mampir ke Hollywood di sela-sela kunjungannya di Amerika pada tahun 1956.
You are lucky because you live in the life country“, katanya. Ucapan ini mungkin memiliki makna yang lebih dalam dari sekedar basa-basi yang bisa kita tangkap dan pahami secara sederhana.

Kita memang beruntung hidup di negara yang hidup. Persoalan di negeri ini begitu berwarna-warni. Negeri ini menjadi kamus ilmu pengetahuan dari ragam kehidupan bernegara. Barangkali tidak berlebihan jika dikatakan tidak satu orang pun yang terbebas dari masalah kenegaraan di negeri ini. Mulai dari persoalan kebutuhan minimal sampai dengan kelebihan uang hasil jarahan dari kas negara. Mulai dari ledakan euforia pesta kegemilangan timnas di kompetisi AFF 2010 hingga saling sikut di level tingkat tinggi persepakbolaan nasional. Mulai dari hilangnya minyak tanah sampai maraknya ledakan tabung gas yang merenggut rakyat kelas bawah. Mulai dari makelar kasus hingga jubir-jubir nyamuk (nyari muka) yang sibuk merenda kalimat agar nyaman di telinga pemimpin. Mulai dari penukaran narapidana hingga wisna (wisatawan narapidana) yang bolak balik ke luar negeri. Mulai dari niat meninggalkan SPBU Pertamina ke SPBU Petronas atau Shell yang diduga bakal memasang harga lebih murah. Mulai dari akuisisi perusahaan-perusahaan ritel kecil oleh raksasa asing hingga sulitnya menego ulang perjanjian kontrak karya pertambangan yang dikuasai negara-negara industri. Lautan Jawa (bukan lautan orang Jawa) mungkin tidak akan cukup menampung sisa persoalan lainnya.

Bangsa Sedang Alami Kemunduran

Kita memang beruntung hidup di negara yang hidup, karena bisa menonton begitu dekat pementasan teater perpolitikan Indonesia dan drama berseri pemiskinan bangsa. Kendati demikian rakyat rupanya tidak mudah menanggalkan nama Indonesia yang tertanam di dada kebanyakan (dikatakan kebanyakan, karena ternyata ada saja penghianatan).

Buktinya ada orang-orang yang tega menghina bangsanya sendiri dan menjadi alat kepentingan asing, berharap ia akan menerima keistimewaan dari bangsa lain. Mimpi..!. Tetapi banyak peneliti berkebangsaan Indonesia yang bertahun-tahun hidup dan sukses di negeri orang walaupun tidak serta merta mau melepaskan kewarganegaraan Indonesianya. Alasan klise yang sering kita dengar adalah ”aku masih cinta Indonesia”. Subhanallah. Namun banyak yang tidak jujur berkata ketika menjawab pertanyaan mengapa harus menerapkan ilmunya di negeri orang. Padahal sebahagian diantaranya adalah orang-orang yang disekolahkan oleh negara dengan biaya pinjaman dari lembaga keuangan internasional yang hingga kini masih menjadi beban rakyat Indonesia.

Perjalanan waktu telah membuktikan ucapan seorang film maker itu. Ternyata negeri kita sungguh banyak menghadapi dinamika kehidupan yang sangat kompleks. Bagi seorang film maker, dinamika itu mungkin hanya dibatasi pada hal-hal yang mampu membangkitkan ide-ide baru bagi kegiatan berkesenian. Tetapi bagi bangsa ini pada umumnya, dinamika itu justru seringkali bergerak mundur, nyaris mengarah pada pemusnahan suatu gagasan. Dari ada menjadi tidak ada. Dari stabil menjadi labil. Dari kebahagiaan menjadi tangisan, dari kamajuan menjadi kemunduran, dan sebagainya.

Diantara kita mungkin bersebrangan, kemudian masing-masing melahirkan gagasan yang diklaimnya sebagai yang terbaik untuk memajukan negeri ini. Tetapi mengapa seringkali menjadi perseteruan. Saling mendongkrak, saling mencungkil, saling mengumpat, saling membakar, hingga api dan asapnya membubung ke angkasa, terlihatlah oleh negeri tetangga di seberang lautan.

Fakta, bahwa kita tidak pernah bisa menyelesaikan masalah bengsa secara arief, hingga tetangga berdatangan entah untuk misi apa. Mereka datang dengan membawa banyak proposal dan rancangan undang-undang yang harus diadopsi untuk merevisi peraturan yang sudah ada. Terlalu banyak peluang yang kita berikan pada negeri-negeri seberang untuk menyusun skenario yang jarang kita kritisi.

Kita seringkali menutup mata dan telinga bahkan nurani, ketika skenario-skenario yang datang dari negeri seberang dicetak di atas kertas yang bernama dollar, yen, euro atau poundsterling. Lalu para pelakon “gagasan” di negeri ini mulai mengaktualisasikan skenario itu dengan penuh semangat menggamit lengan pakar-pakar tua renta yang sudah tidak produktif dari negeri-negeri seberang.

Bangsa Sedang Tidak Jujur

Menurut para pelakon gagasan - sebut saja di bidang ekonomi - kita beruntung mendapatkan dana dari negeri seberang untuk mengaktualisasikan skenario mereka atas nama gagasan kita. Lha, kok jadi diputar balik? Seolah-olah kita yang butuh dana mendesak. Padahal pada awalnya tidak ada satu orang pun yang berpikir tentang skenario A atau skenario B. Tetapi tiba-tiba ada volunteer yang senang diberi lakon atas nama bangsa. Soal ini barangkali Kwik Kian Gie bisa bicara panjang lebar. Sayangnya tokoh ekonomi ini sudah dibungkam oleh Pers (ini pengakuan Kwik Kian Gie sendiri). Pers yang selalu mengagung-agungkan kebebasan, faktanya hanyalah kebebasan berusaha di bidang pers. Kebebasan itu sendiri hanya dilihat dari sudut pers, bukan dari sudut publik.

Celakanya, seusai kegiatan kajian (jangan dibaca kekejian) para pelakon itu tidak pernah bertanya atau menjelaskan kepada publik dan mendengarkan jawabannya. Misalnya bertanya “Puaskah kalian dengan apa yang telah kami perbuat?”. “Kami telah melakukan kajian di bidang kebijakan energi, dan laporannya telah kami serahkan kepada pemberi dana. Kami hanya mendampingi para pakar tua renta yang tetap kami bayar dengan tarif sesuai standar mereka. Tahukah anda, itu menunjukkan kami menaruh kepercayaan pada mereka seperti mereka pun telah menaruh kepercayaan kepada kami. Banyak yang dapat kita perbuat untuk menekan pemerintah agar peduli pada masalah energi, lingkungan, kesehatan, industri, iptek dan lain sebagainya. Misalnya negara perlu melestarikan hutan tetap hijau agar negeri ini dapat menyumbangkan udara yang sehat kepada dunia. Kita harus tetap seperti ini, seperti ketika kita baru lahir, dan tidak boleh tumbuh menjadi dewasa. Sebab bukan itu yang diinginkan dunia”, celotehnya dengan menuh semangat. Mudah-mudahan orang yang berpikir seperti itu diberi umur panjang, agar dapat menyaksikan kegagalan lakonnya bagi masa depan bangsa ini.

Benarkah diantara kita sudah berbuat banyak untuk negeri ini? Tahukah anda cara mengatasi masalah bangsa? Seperti inilah bangsa kita sesungguhnya. Seperti seorang sarjana hukum yang hanya puas mengarsipkan peraturan perundang-undangan. Seperti seorang sarjana elektronik yang hanya puas mereperasi radio. Seperti seorang ahli kimia yang hanya puas jika sudah mampu membaca rumus-rumus kimia. Seperti seorang sarjana teknik mesin yang cukup puas membuka usaha bengkel. Dari mereka nyaris tidak dijumpai kreasi dan inovasi baru. Tetapi sangat banyak laporan-laporan ulang hasil kajian yang kerapkali tak ubahnya seperti catatan riwayat hidup dengan judul berganti-ganti. Barangkali berharap suatu hari nanti bisa mengikuti Fit and Proper Test sebagai kandidat pemimpin sebuah komisi nasional. Sementara peneliti yang benar-benar mengabdi pada ilmu dan menghasilkan penemuan baru ditelantarkan dengan dalih anggaran untuk iptek masih sangat sedikit. Ironisnya masih ada pembiaran terhadap program-program penelitian yang tumpang tindih di seantero nusantara.

Akankah kita mempercayakan pengelolaan bangsa ini kepada pelakon-pelakon yang demikian? Ini hanyalah sebuah puisi yang saya tulis disaat saya sakit perut. (Tangerang, 22 Januari 2011)


Jangan Lupa Jempolnya :


Berikan Tanggapan Anda .....

0 Respones to "Beruntung Hidup Di Indonesia"

Post a Comment

 

Dibutuhkan Bulan ini :

Paling Dibutuhkan :

Dibutuhkan Minggu Ini

© 2011 Bangunlah negeriku PublisedSeo Template Blogger Converted Template by Hack Tutors.info