Rumitnya (Konflik) Beragama



By :Maesah Anggni
Lima laki-laki (enam termasuk saya yang datang kemudian) sedang terlibat pembicaraan yang sepertinya cukup penting, di halaman depan sebuah rumah kayu. Hanya tersedia tiga kursi malam itu, karenanya saya dan dua orang lainnya duduk sekenanya menggunakan ember yang dibalik dan perabot lainnya.
Kelima laki-laki tersebut adalah “saudara seperguruan” sebuah ajaran yang kemudian ramai diperbincangkan masyarakat dan media, karena ditengarai menyimpang (sebagian lain menggunakan bahasa sesat). Sesekali tawa pecah saat mereka mengingat petualangan beragamanya di ajaran berlabel Sabda Kusuma tersebut.
“Kalau saya wajar sempat kepincut ajaran sesat itu, dasar saya tidak sekolah, dan tidak pernah ngerti agama, maunya belajar agama, malah salah guru. Lha sampeyan……sekolahnya tinggi, lha kok bisa-bisanya keblinger ikut-ikutan juga”, sentil seorang mantan murid kepada mantan murid lainnya. “wis, terserah kamu mau omong apa, nyatanya yang penting aku dah tobat”, tangkisnya disambut tawa yang lain.
Kelimanya sudah lebih dari dua kali mendatangi undangan pihak kepolisian untuk memberikan keterangan ajaran menyimpang yang pernah diikutinya. Di hadapan peneyelidik, semua mereka menyatakan beberapa kali dituntun untuk membaca syahadat yang belakangnya diganti menjadi “Sabda Kusuma” rasulullah.
Kini, 2011, hampir dua tahun sudah kasus ajaran menyimpang tersebut “berlalu”, sementara tidak ada kepastian bagaimana tindak lanjutnya. Kelima mantan murid  tersebut, benar-benar tidak habis pikir, katanya disuruh bersaksi, dimintai kesediaan untuk memberikan keterangan, agar tidak ada jatuh korban yang lain. Tapi mengapa hingga kini tidak ada tindakan yang pasti ?. Sementara karena keterangannya, kelima orang tersebut telah rela “mengorbankan” dirinya untuk menjadi perbincangan tetangga dan masyarakat.
Keikhlasan lima mantan murid bersaksi di kepolisian, karena mereka tidak rela jika atas kedok agama, pelaku memperdaya korban yang sebenarnya ingin menimba ilmu agama, justru banyak informasi dilecehkan secara seksual, ditipu secara ekonomi, dan diracuni pola pikirnya dengan kesesatan-kesesatan. Sebagaimana yang mereka alami dan lihat selama mengikuti ajaran tersebut.
“Seandainya tahu saya dipermainkan, saya tidak sudi bersaksi mas, kalau perlu biarkan saja semakin banyak orang disesatkan, toh bersaksi atau tidak, sama sekali tidak ada artinya. Padahal saya ingin, setelah saya bersaksi, segera diambil tindakan”, kata ES, salah satu saksi di kepolisian.
ES memang benar, karena di Penetapan Presiden No. 1 Th. 65, setiap penodaan agama dan/atau penyalahgunaan agama harus diperingatkan, jika mengulangi, dapt dipidanakan menurut ketentuan KUHP.
Toh nyatanya setelah hampir dua tahun tidak ada peringatan, pembubaran, dan lain sebagainya. MUI (Majlis Ulama Indonesia), Pemda, dan lainnya, cuma berputar-putar tidak karuan.
Bukan kekesalan mereka terhadap MUI, Pemkab, dan aparat terkait yang membuat saya risau. Namun ada yang lebih penting dari itu, kesalahan fatal MUI sebagai majlisnya para ulama yang tidak memiliki metodologi penanganan masalah ajaran yang jelas, efektif dan tepat sasaran, sehingga bertele-tele. Mereka membiarkan konflik antara masyarakat (dan mantan murid) dengan pengikut setia Sabda Kusuma semakin meruncing. MUI patut dipersalahkan, mengingat mereka dibutuhkan oleh aparat sebagai representasi kelompok ulama yang harus dengan cepat memberikan pendapat dan fatwa.
Tapi biarlah, bukankah memang ulama kita sebagian besar seperti itu (maaf, kenyataannya demikian). tapi ada yang lebih fatal, selain terlalu lama muter-muter dan bertele-tele, para ulama juga tidak pernah sama sekali menanyakan bagaimana kabar mantan murid yang telah bertobat, apalagi menawarkan diri untuk membimbing mereka. Bukankah sebenarnya kesadaran para mantan murid adalah kesempatan emas memberikan bimbingan yang benar tentang agama, sembari menyadarkan mereka yang masih meyakini dan belum mau bertobat ?.
Dan jelas, ulama kita belum punya kepedulian ke arah itu, tidak berinisiatif. Diakui atau tidak hal tersebut karena kebiasaan, bahwa mereka biasa disowani (didatangi), dicium tangannya, kemudian memohon sang ulama untuk datang ke sebuah hajat mereka, bila perlu dijemput dan antar, sehingga budaya inisiatif menjadi hilang. Padahal, banyak orang yang ingin menemukan tuhannya dengan aneka cara yang salah, dan butuh bimbingan. Bukankah saatnya ulama berinisiatif ?. Tidak perlu menunggu undangan bukan ?.
Sikap acuh MUI dan aparat terkait merespon kesaksian mantan murid pada babak berikutnya memunculkan babak permusuhan baru. Dengan tidak diresponnya kesaksian mereka, beberapa mantan murid kemudian menyatakan sudah enggan berurusan dengan MUI dan aparat linnya, adapun resiko yang harus dihadapi karena kesaksiannya akan dihadapi. “Kesaksian tetaplah kesaksian, dan itu yang sebenarnya, kalaupun MUI dan para aparat tidak berani, biar saya selesaikan dengan cara saya”, demikian sikap mantan murid pada umumnya.
Masalah belum selesai, karena ada statement lanjutan, “memang rumit ngomong soal agama, apalagi berurusan dengan orang yang ahli agama. Dikasari tersinggung, bicara halus mereka tidak dengar”. Silakan terus berdebat, saya pun kembali ke dunia saya, selamat tinggal agama, mungkin itu pencarian terakhir saya”, demikian kurang lebih pernyataan mereka, sehari setelah mendapat kabar adanya kunjungan pejabat MUI propinsi ke Kudus untuk minta keterangan, yang entah keberapa puluh kalinya, dengan materi yang sama.
Yang jelas saat itu, dari lima mantan murid, hanya satu yang berkenan menghadiri dan “menceritakan dongengnya mengikuti ajaran sesat kepada dua orang MUI propinsi”. Sedangkan empat yang lain, saat dikonfirmasi via telepon kenapa tidak hadir, dijawab dengan cetus, bahwa mereka (telah) berkali-kali bersaksi di kepolisian dan MUI, dua tahun yang lalu, dan mereka ternyata sama sekali tidak mendengar, nyatanya mereka mengajukan pertanyaan yang sama.
Sekarang, biarkan kami kembali ke dunia “sabung ayam”, karena beragama itu rumit bagi kami. “Maaf jika menurut kami sebaiknya ulama juga memperbanyak nahi munkar, karena setiap hari sudah menyerukan amar ma’ruf dari podium ke podium lain, ” demikian pesan mereka.
Dan tampaknya saya akan kesulitan untuk mengajak mereka berdiskusi ringan soal agama, karena sepertinya mereka telah sangat muak. Mereka merasa terbuang, tidak dihargai semangat menyampaikan kebenaran dan mencegah jatuhnya korban-korban lain, merasa dipermainkan.


Jangan Lupa Jempolnya :


Berikan Tanggapan Anda .....

0 Respones to "Rumitnya (Konflik) Beragama"

Post a Comment

 

Dibutuhkan Bulan ini :

Paling Dibutuhkan :

Dibutuhkan Minggu Ini

© 2011 Bangunlah negeriku PublisedSeo Template Blogger Converted Template by Hack Tutors.info